Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Tembus 5,7%, Bagaimana Caranya?
Perang Rusia dan Ukraina turut mempengaruhi perekonomian berbagai negara. Termasuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Efeknya terasa seperti naiknya suku bunga hingga membuat permintaan ekspor Indonesia menurun dan memperburuk tantangan yang telah ada sebelumnya.
Direktur Center for Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, dampak langsung perang Rusia-Ukraina terhadap Indonesia itu dapat dilihat dengan mudah kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, yang pada gilirannya juga menaikkan harga berbagai barang konsumsi lainnya.
“Perang ini telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa bagi prospek ekonomi global dan Indonesia,” kata Bhima. Oleh karena itu, ia berharap perang yang melibatkan dua negara produsen penting bagi banyak kebutuhan dunia ini segera diakhiri sehingga perekonomian bisa kembali normal.
Bhima mengatakan, hampir semua negara berharap agar perdamaian antara Rusia dan Ukraina segera terwujud. Dia menyebutkan, jika mengacu pada Sidang Umum PBB di bulan Februari lalu, ketika 141 negara, termasuk Indonesia, mengutuk tindakan Rusia dan memilih untuk mendukung penarikan penuh pasukan Rusia dari Ukraina dengan segera dan tanpa syarat.
Dia menambahkan jika perdamaian Rusia-Ukraina terjadi, efeknya bagi perekonomian global akan luar biasa, termasuk bagi Indonesia. “Berdasarkan data Kementerian Keuangan, ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5,3% sampai dengan 5,7% jika itu terjadi,” ujar Bhima.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, kondisi ini akhirnya berimbas pada penurunan volume perdagangan global sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, perekonomian global di tahun 2023 masih menghadapi tekanan yang berat, yakni dengan masih belum kembalinya laju inflasi global ke level sebelum pandemi, yang berarti suku bunga acuan global akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
“Akibatnya, likuiditas global masih yang masih ketat, sehingga biaya juga akan tetap tinggi,” ujar Teuku Riefky. Di sisi lain, ruang fiskal di banyak negara semakin terbatas dengan meningkatnya utang akibat pandemi. Gejolak perbankan di AS dan Eropa juga menambah risiko dan ketidakpastian pasar keuangan global. Berlanjutnya kondisi tersebut akan membuat perekonomian kian terhimpit, karena potensi arus investasi semakin terhambat.
Dampak langsung perang Rusia-Ukraina memang mendorong tingginya suku bunga. Berbagai negara di dunia pun terpaksa menaikkan suku bunga demi menurunkan angka inflasi mereka, termasuk AS yang merupakan kiblat perekonomian dunia.
Baca Juga : Bank Dunia Cap RI Naik Kelas, Apa Untungnya Buat Rakyat?
Ketika Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menahan suku bunga acuan pada level 5% – 5,25%, Bank Indonesia (BI) langsung merespons dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reserve Repo Rate menjadi 5,75%. Dampaknya langsung terasa, yakni antara lain suku bunga kredit menjadi tinggi sehingga membuat perusahaan atau industri menunda pinjaman. Akibatnya, ada potensi penurunan di sisi industri.
Beberapa perusahaan yang ingin melakukan ekspansi, khususnya usaha kecil,mungkin harus menunda atau mengurangi operasi perusahaan, yang dapat mengakibatkan berkurangnya waktu lembur atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Angsuran atau kredit barang, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Indonesia juga naik sehingga membuat keadaan semakin sulit, terutama bagi keluarga yang kurang mampu.
Bank Dunia, memprediksi ekonomi dunia hanya tumbuh 2,1% di tahun 2023, setelah tumbuh 3,1% pada tahun 2022. Namun, Global Economic Prospects (GEP) terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia pada awal Juni menandai peningkatan dari estimasi sebelumnya yang mereka keluarkan pada Januari 2023. Estimasi saat itu memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya sebesar 1,7% di tahun ini.
Beberapa waktu lalu, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menegaskan perekonomian global “tidak berjalan baik” akibat Perang Rusia-Ukraina. Sri Mulyani mengakui bahwa perang telah menyebabkan gangguan pasokan yang semakin berkepanjangan dan akut setelah sebelumnya, selama dua tahun dunia dihantam pandemi Covid-19 dan perang melawan Ukraina ini juga akan berdampak pada Indonesia.
Akibat rantai pasokan yang terganggu, tekanan inflasi global juga meningkat yang berdampak pada kenaikan harga komoditas global. “Ketidakpastian situasi geopolitik menyebabkan tekanan inflasi global yang berdampak pada kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas negara-negara maju,” ujar Sri Mulyani. Lebih lanjut, ujarnya, kondisi tersebut menimbulkan volatilitas, arus modal, dan pengetatan di sejumlah negara, termasuk Indonesia karena proyeksi pertumbuhan ekonomi masih tak menentu, sesuai prediksi yang dikeluarkan oleh IMF, Bank Dunia, dan OECD.
Komunike di akhir KTT G20 di Bali menyatakan penyesalan Agresi Rusia terhadap Ukraina dan menuntut penarikan pasukan Rusia dengan segera dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina. Indonesia memiliki peran yang berkelanjutan dan penting sebagai bagian dari Troika G20 dan Ketua ASEAN saat ini. KTT G20 pada bulan September tahun ini akan menjadi titik kritis untuk menemukan solusi nyata yang akan mengakhiri perang dan ketidakpastian ekonomi.
Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, pada 30 Juni, tahun lalu, menunjukkan kuatnya komitmen dan upaya nyata Indonesia dalam memelihara perdamaian. Kunjungan Presiden Jokowi juga merupakan kunjungan pertama pemimpin Asia ke dua negara yang tengah dilanda perang tersebut, ditambah dengan keluarnya komunike akhir KTT G20 di Bali, menunjukkan bahwa Indonesia secara konsisten menyerukan penyelesaian secara damai. Indonesia memiliki kepentingan langsung dalam menengahi perdamaian antara Rusia dan Ukraina.